BlackNews: Cerita Dibalik Sikap Melipat Tangan Berdoa | Motivasi

Breaking News

Kamis, 27 Agustus 2015

Cerita Dibalik Sikap Melipat Tangan Berdoa | Motivasi

Cerita Dibalik Sikap Melipat Tangan Berdoa | Motivasi



Kembali ke abad kelima belas yang silam. Di sebuah desa kecil dekat Nuremberg, tinggallah sebuah keluarga dengan delapan belas anak-anak. Delapan belas! Agar tetap tersedia makanan di atas meja untuk mereka, ayah dan kepala rumah tangga, yang berprofesi sebagai tukang emas, bekerja hampir delapan belas jam sehari di pasar emas dan bekerja di tetangganya. Meskipun kondisi yang jauh dari harapan tersebut, dua dari anak tertuanya bermimpi. Mereka berdua ingin mengejar bakat mereka dalam bidang seni. Tetapi mereka tahu bahwa ayah mereka tidak akan pernah mampu secara finansial untuk mengirim salah satu dari mereka untuk belajar di sekolah.

Setelah diskusi panjang di malam hari di tempat tidur yang penuh sesak, kedua anak laki-laki itu akhirnya saling bersepakat. Mereka akan melemparkan sebuah koin. Yang kalah akan bekerja di pertambangan dekat situ, untuk mendukung biaya saudaranya belajar di sekolah. Ketika saudaranya yang memenangkan lemparan menyelesaikan belajarnya selama empat tahun, ia akan membantu saudara lainnya bersekolah, baik dengan penjualan karya seninya, atau jika perlu, bekerja di pertambangan.

Mereka melempar koin setiap hari Minggu pagi. Albrecht Durer memenangkan lemparan koin dan pergi ke Nuremberg. Sementara saudaranya, Albert, pergi ke pertambangan yang berbahaya. Selama empat tahun ke depan, ia membiayai saudaranya, yang bersekolah. Lukisan Albrecht, hasilnya bahkan lebih baik daripada sebagian besar maha gurunya. Dan pada saat ia lulus, ia mulai mendapatkan biaya yang cukup besar atas penjualan karya-karya lukisnya.

Ketika seniman muda itu kembali ke desanya, keluarga Durer mengadakan pesta makan malam di halaman rumah mereka untuk merayakan kembali ke rumah Albrecht. Setelah pesta, Albrecht bersulang untuk pengorbanan adik tercintanya demi memenuhi ambisinya. Ia pun berkata, “Dan sekarang, Albert, adikku, giliranmu. Sekarang kau bisa pergi ke Nuremberg untuk mengejar mimpimu, dan saya akan membiayaimu.”

Semua mata menoleh ke tempat duduk Albert, tampaklah air mata mengalir di wajahnya yang pucat. Ia menggelengkan kepalanya sambil menangis, dan berulang-ulang ia mengatakan, “Tidak….tidak….tidak… tidak ada.”

 

Albert pun bangkit dan menyeka air mata dari pipinya. Ia melirik ke bawah meja panjang dan memandang wajah-wajah yang dicintainya. Kemudian memegang tangannya dekat dengan pipi kanannya, ia berkata pelang, “Tidak, saudaraku. Aku tidak bisa pergi ke Nuremberg. Sudah terlambat bagiku. Lihatlah… lihatlah apa yang terjadi selama empat tahun di pertambangan terhadap tanganku! Tulang di setiap jariku telah hancur, dan akhir-akhir ini aku telah menderita rematik begitu parah di tangan kananku bahkan aku tidak bisa memegang gelas atau mengambil roti panggang. Apalagi membuat garis halus pada kanvas dengan pena atau kuas. Tidak, saudaraku, bagiku itu sudah terlambat.”

Lebih dari 450 tahun telah berlalu. Sekarang, ratusan Albrecht Durer telah lahir, dengan pena, sketsa, cat air, arang, ukiran kayu, dan ukiran tembaga menggantung di setiap museum besar di dunia. Mungkin Anda pun sudah akrab dengan salah satu karya Albrecht Durer itu.

Suatu hari, untuk memberi penghormatan kepada Albert atas semua yang telah dikorbankannya, Albrecht Durer bersusah payah menggunakan telapak tangan saudaranya itu, kemudian melukisnya. Ia menyebut lukisannya dengan judul “Tangan”. Tetapi seluruh dunia segera membuka hati mereka untuk karya besar tersebut dan mengganti namanya menjadi “Tangan yang Berdoa”.

Demikianlah, Anda pun dapat membuat sesuatu sebagai pengingat Anda atas jasa pengorbanan seseorang kepada Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By